Rabu, 27 April 2011

PERANG ANTAR FAKULTAS, SALANYA SIAPA?

 
PERANG!
mungkin bagi masyarakat sipil idealnya kata perang mestinya  kurang cocok  untuk dijadikan bahan cerita (red diskusi) oleh seorang mahasiswa yang katanya adalah kaum intelektual dan terdidik. na' klo dibicarakan saja kurang cocok berarti lebih-lebih jadi aktornya apalagi aktor utamanya, itu klo ideal ki! tapi maumi diapa? (tanyakan pada rumput yang bergoyang) ternyata  disini bedaki kasusnya ces! nda  begitu ki.
******
perang edede...lumrah jie. na bilang anak2 klo perang  biasanya ji itu ca' jangang meko lebay (alay..) na klo bicara perang itu disini... nda ada jie bedanya dengan abg2 (anak baru gede) klo lagi bicarakan tentang gosip-gosip yang tidak jelas itu apaka intu mae justin beiberkah yang mau konser atau ibu2 yang lagi cerita tentang videox briptu norman bigitu tonji dengan perang disini. sebenarnya bukanji  maksudta bilang mau dihalalkan itu perang tapi, skali lagi ca' maumi di apa?????? sebenarnya tidak pernahji ada niatta kita (TEKNIK) mau perang dengan teman2ta (red: sok akrab)  fakultas lain-lain (red: sospol, sastra, ekonomi, hukum,etc banyak skali belah klo disebut semuai) tapi bagaimanami pale toh awalnya kita mauje ki pergi kejasbog (kantin) makan tiba-tiba ada batu melayang kekita? yah dasar kita orangnya memang baik refleks dengan lugunya kita kasi' kembalikanmi itu batu ke asalnya (melempar balik). na begitu ji, semuanya hanya spontanitas. yah kurang lebih begitulah kira-kira awal mula terjadinya sebuah perang, anehnya kejadian-kejadian seperti ini selalu terjadi hampir setiap tahunnya, malahan bisa dibilang klo perang disini adalah rutinitas tahunan, ibaratnya hari kemerdekaan dimana tiap tahun diperingati begitu tongmi juga dengan perang antar fakultas, lain-lain dirasa klo tidak perang seperti lagunya ipang ada yang hilang gitu, sebagai seorang mahasiswa pastinya akan bertanya jugajeki sejak kapan budaya ini ada, darimana  dan seterusnya, berikut mungkin bisa jadi salah satu refence bagi kita semua:
******
(Sumber KOMPAS, 16 Januari 2009) 

Pada awal tahun 2000, saya mengemban amanah sebagai presidium ketua senat mahasiswa Fisip Universitas Hasanuddin (Unhas). Bersama beberapa sahabat, saya berkomitmen untuk memberantas tawuran yang setiap tahunnya selalu melibatkan mahasiswa Fisip dan Teknik. Kami memang bekerja keras. Tapi, sepanjang periode kepengurusan, saya jadi paham bahwa mengatasi tawuran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mustahil pula mengatasi tawuran dengan hanya menyalahkan mahasiswa semata. Ini logika para petinggi kampus yang jelas-jelas keliru. Kita mesti melihat tawuran secara proporsional sehingga penanganannya bisa lebih holistik. Baik mahasiswa, dosen, maupun pejabat kampus harus sama-sama berbesar hati kalau semuanya punya ‘kontribusi’ pada lahirnya tawuran. Jangan hanya menuding mahasiswa saja.

Dulu, sewaktu pertama masuk menjadi mahasiswa Unhas, saya heran juga mendengar berita tentang anak Unhas yang suka tawuran. Kedengarannya aneh dan agak primitif. Saya kadang malu dengan tradisi tawuran ini. Masak sih, para mahasiswa yang katanya intelektual muda suka tawuran. Saya sendiri sering tidak percaya, kok sampai harus tawuran. Apa gak malu sama masyarakat di luaran sana. Apalagi, sebab-sebab tawuran adalah hal-hal yang mungkin sepele bagi sebagian orang. Masalah ceweklah, masalah saling ejek, hingga masalah ada teman yang dipukul. Masalah seperti itu bisa jadi api besar yang kemudian membakar solidaritas kolektif. Massa kemudian ramai-ramai menyerbu fakultas lain. Tapi itulah faktanya.

Setelah menjadi mahasiswa Unhas, saya baru paham bahwa tawuran itu tidak benar-benar murni tawuran. Memang sih, mereka saling lempar batu, saling merusak gedung perkuliahan sendiri, juga saling ancam dengan badik terhunus. Tapi, setelah selesai peristiwa tawuran, mereka kembali berbaur sama-sama, seolah tanpa masalah. Mereka kembali menaiki angkutan umum yang sama. Bahkan saat di pondokan (kompleks kos-kosan mahasiswa), dua kelompok mahasiswa –yang sebelumnya bertikai itu– saling bercerita dengan gagah bagaimana aksinya ketika melempari mahasiswa lain. Mereka menyebutkan posisinya saat tawuran, serta “prestasinya” saat berhasil menikam atau mengancam mahasiswa beda fakultas. Mereka saling bercerita dengan penuh kebanggan, padahal sejam sebelumnya mereka adalah mahasiswa yang saling bertikai, saling konflik dengan badik terhunus.

Ini jelas berbeda dengan tawuran di beberapa kampus swasta yang kadang saling kejar sampai pondokan mahassiwa. Kalau di Unhas, hanya saat tawuran saja. Setelah itu situasinya damai dan saling canda. Meskipun besoknya saat ke kampus, kembali lanjut tawuran. Itulah kampus Unhas.

Banyak mahasiswa Unhas yang berseloroh bahwa tawuran adalah bagian dari kalender akademik sebab, biasanya terjadi setiap bulan September. Pada bulan itu, mahasiswa merasa tertekan dengan tugas-tugas perkuliahan yang menggunung, dengan tuntutan mengerjakan skripsi yang berat. Melalui tawuran, mereka sejenak terbebaskan dari rutinitas tugas itu. Kampus akan segera diliburkan, kemudian mereka bisa istirahat sejenak.

Melalui tawuran, energi besar yang merteka keluarkan akan tersalurkan. Mereka kemudian merasa plong dan terbebaskan. Logikanya sama dengan seorang kawan yang lagi stres, dan sengaja pergi nonton pertandingan PSM di Stadion Mattoanging. Ia bebas teriak, mengumpat, dan memaki-maki. Sepulang nonton pertandingan sepakbola, ia merasa plong dan bebas stres. Logika yang sama juga berlaku dengan mahasiswa yang tawuran. Tertekan oleh tugas perkuliahan, hasrat berorganisasi yang tidak tersalurkan (karena kebijakan dropout yang kian ketat), serta kurangnya aktivitas kemahasiswaan yang diizinkan pihak kampus, menjadi benih-benih yang menyemai suburnya tradisi tawuran. Ini masih diperparah dengan arogansi pengajar yang merasa sok hebat, serta tiadanya katup-katup yang bisa mencairkan hubungan antar fakultas. Semua memperparah tradisi tawuran.

Satu hal yang juga perlu ditambahkan yakni arogansi ilmu pengetahuan. Mestinya ilmu harus dilihat sebagai proses perjalanan untuk menemukan pengetahuan yang kemudian mengasah kebijakasanaan. Tapi di Unhas, ilmu menjadi terkotak-kotak dan masing-masing merasa lebih hebat. Bukan rahasia lagi kalau di kampus Unhas, mereka yang kuliah di ilmu-ilmu teknik seperti eksak merasa lebih superior ketimbang yang kuliah di ilmu sosial. Kuliah di eksak seolah identik dengan kecerdasan dan kehebatan, semenatra yang kuliah di ilmu-ilmu sosial adalah kelompok yang gagal bersaing. Saya sendiri prihatin dengan kondisi ini. Apalagi, di kampus Unhas, filsafat ilmu tidak menjadi mata kuliah wajib. Pantas saja jika mahasiswa dan para pengajafrnya terkotak-kotak dalam cara berpikir yang sempit dan tiddak melihat relasi antar bidang pengetahuan. Inilah faktanya.

Banyak juga publik yang mengaitkan tawuran itu dengan situasi politik di Sulsel. Pada tahun 1992, gedung laboratorium milik Fakultas Teknik Unhas terbakar. Kata banyak orang, tawuran itu terkait dengan situasi jelang pemilihan Gubernur Sulsel, di mana saat itu Rektor Unhas Prof Basri Hasanuddin menjadi kandidat yang terkuat. Tapi, saya tidak terlalu sepakat dengan arumentasi tentang situasi politik ini. Logika ini sama saja dengan memposisikan mahasiswa hanya sebagai pion yang mudah dikendalikan. Saya lebih sepakat dnegan argumentasi bahwa terjadi banyak masalah di tingkat internal dalam kampus. Dan tawuran hanyalah satu kanalisasi untuk menyalurkan energi mahasiswa. Tabik….



Dan iInilah Bukti Di Makassar itu Aman / Toleransi Dan Bersahabat !!!


Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur kepulauan Indonesia. Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi. Katanya, ”Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak Viking yang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”

Dinamika lokal

Di tempat baru, orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial politik lokal. Sebutlah di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam. ”Sampai abad XVIII, prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia itu.

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut mewarnai dinamika lokal. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkimpoian campuran.

Bagi Mukhlis, fenomena ini bukan migrasi biasa. Ia menyebutnya diaspora Bugis-Makassar. Bangsawan dan raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—beserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.

”Mereka mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” ujar Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak kini. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi maupun Babad Kraton Jawa menggambarkan prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini membantu Trunajaya mempereteli kekuasaan Mataram yang disokong Belanda. Nama Karaeng Galesong dan Karaeng Daeng Naba, dua bangsawan Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makam prajurit dari Gowa di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Label kesatuan prajurit Bugis dalam ”ketentaraan” di Keraton Yogyakarta yang ada saat ini bukti lain dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun keturunan Bugis-Makassar: Daeng Naba!

Di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan, seperti di Aceh, Selangor, Trengganu, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, ”sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkimpoian campuran dengan warga setempat.

Akulturasi budaya pun terjadi. Di sanalah akar kemajemukan yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar